by Gita Savitri Devi

10/24/2016

Life On The Other Side of The World

As seen on Jawa Pos/zetizen.com




Di program pertukaran pelajar yang gue ikutin beberapa minggu lalu, gue bertemu dengan banyak anak muda dari tujuh negara di Eropa. Ada satu orang yang menurut gue sangat inspiratif, karena pilihannya untuk menjalani hidup yang tidak lazim seperti kebanyakan anak muda seumurnya. Namanya Elias Escribano. Dia berasal dari Spanyol dan berumur 25 tahun, hanya setahun lebih tua dari gue. Orang berumur 25 tahun lainnya mungkin sedang disibukkan dengan deadline kantor ataupun deadline tugas studi S2 mereka, tapi itu tidak berlaku bagi Elias. Di umur segitu dia memilih untuk bekerja selama setahun mengumpulkan uang, karena dia bercita-cita untuk keliling dunia, cita-cita yang kayaknya nggak mungkin. Republik Ceko, tempat kita bertemu pertama kalinya, adalah negara kesekian dari 32 negara lainnya yang akan dia kunjungi. Yang lebih istimewa lagi dia jalan-jalan pakai sepedanya yang dia beri nama Penelope. Sewaktu gue tanya kenapa dia ngelakuin ini, dia cuma jawab, "I just feel like I need to.". Selain dia bercerita tentang gimana dia bisa survive ngejalanin ide gila ini, tentang perlengkapan apa aja yang dia bawa, tentang bagaimana dia harus bermalam ketika lagi di tengah-tengah perjalanan, dia juga bertanya ke gue seperti apa Indonesia, orang-orangnya dan gimana caranya dia bisa menyebrang dari satu pulau ke pulau lainnya. Iya, Indonesia juga akan menjadi destinasi dia dan gue pun nggak melewatkan kesempatan untuk bragging ke dia tentang kuliner dan pemandangan alam negara gue yang sangat gue banggakan itu.

Dari Elias gue juga banyak banget mendengar cerita tentang orang-orang di negeri seberang sana yang belum pernah gue temui atau dengar sebelumnya. Mungkin karena setiap dia sedang melancong ke negeri lain, dia selalu berusaha untuk berinteraksi dengan penduduk lokal, despite bahasa inggris dia atau bahasa inggris orang lokal tersebut yang limited. Rasa penasaran gue pun makin membludak dan kepala gue jadi terisi dengan banyak pertanyaan. Maklum, gue sangat tertarik dengan orang-orang yang berkomunikasi menggunakan bahasa berbeda dan yang memiliki budaya yang berbeda, sama seperti Elias. "Pernah nggak lo merasa nggak bisa relate dengan suatu kultur dan merasa sangat asing di tempat tersebut?" tanya gue. Dia bilang, "Di beberapa tempat di bagian timur Eropa gue merasa orang-orangnya dingin dan kurang ramah. Tapi walaupun begitu, di semua negara yang pernah gue kunjungi gue selalu bertemu dengan orang-orang yang baik-baik banget, yang ramah, despite stereotip yang ada.". Elias ini tau banyak tentang kultur dan budaya. Ya, karena hobinya jalan-jalan, ternyata dia ini lulusan antropologi. Nggak cuma itu, dia juga tau banyak tentang isu-isu dan masalah politik yang lagi happening nggak cuma di negara dia.

Beberapa kali ngobrol panjang lebar dengan dia membuat gue jadi banyak self-reflect tentang apa yang sudah gue lakukan, apa yang sedang gue lakukan, dan apa yang akan gue lakukan. Butuh keberanian super besar untuk memulai hal yang gila seperti ini. Meninggalkan kehidupan normal, jalan-jalan, ketemu orang baru, dan menghadapi situasi yang baru. It's scary I know. Keluar dari zona nyaman dan menjalankan hidup yang berbeda dengan pattern yang ada itu menakutkan. Tapi melihat temen gue ini, keliling dunia memang bisa menjadi life-changing experience. Karena memang melangkahkan kaki ke luar "rumah" bisa membuka pikiran kita. Bertemu dan berinteraksi dengan orang-orang baru juga bisa memberi insight yang baru, dan yang pasti akan ada banyak life lesson yang bisa kita dapatkan. Yang lebih penting adalah hal kayak gini bisa jadi wake up call buat kita, kalau hidup itu bukan cuma tentang saya, saya, dan saya. Ternyata ada banyak permasalahan yang terjadi di dunia, nggak cuma yang terjadi di hidup personal kita. Gue mengambil contoh sebelum gue tinggal di Jerman. Ketika gue masih di Jakarta dulu, gue nggak pernah terpikir kalau ternyata hidup sebagai seorang muslim di luar negeri itu bisa lebih sulit. Gue nggak pernah terpikir kalau rasialisme itu adalah topik pembicaraan yang nyata di sini. Berbeda banget dengan ketika dulu gue tinggal di lingkungan yang homogen. From that I learned not to take my religion for granted. Begitu juga ketika gue ngobrol dengan anak-anak muda Eropa di pertukaran pelajar kemarin. Mereka dengan casual-nya membicarakan tentang peran Uni Eropa dan bagaimana masing-masing negara mereka mengurusi permasalahan yang lagi hot sekarang ini, masalah gelombang pengungsi. Lagi, ternyata ada banyak permasalahan yang sebenernya harus dijadikan perhatian juga, bukan cuma merhatiin hidup personal kita aja. Jika gue tidak memutuskan untuk merantau, mungkin gue nggak akan pernah tau kalau hal tersebut eksis.


Selagi masih muda menurut gue paling nggak sekali merantau itu perlu. Melihat dunia itu perlu untuk membuang rasa ignoran dan menumbuhkan kepedulian, nggak cuma untuk diri kita, tapi juga untuk orang lain. Di jaman sekarang hidup makin sulit. Dunia ini kurang lebih seperti yang digambarkan di film Hunger Games. Nggak bisa lagi kita berempati dengan sesama, karena yang harus diprioritaskan adalah diri kita. "Lo-lo, gue-gue.". That's how I feel about the modern world. Gue sangat mengapresiasi kalau masih ada anak-anak muda seperti Elias ini, yang masih mau untuk bergerak dan keluar dari tembok rumahnya. Melihat dengan mata kepala sendiri seperti apa sebenernya kehidupan di sisi dunia yang lain, bukan cuma melihatnya melalui media mainstream. Masih mau untuk bertukar pikiran dengan orang lain yang berbeda bahasa ibu, supaya bisa melihat sesuatu bukan dari kacamata sendiri. Pertanyaannya adalah apakah kita berani untuk bergerak seperti dia?
Share:

10/17/2016

Kepada Rasulullahku Tercinta

Apa yang sedang terjadi di Indonesia gue tercinta cukup membuat hati gue sedih. Sedih karena ternyata banyak banget orang islam yang nggak bangga dengan keislamannya, yang malu dan bahkan ngerasa kesal melihat saudara seimannya membela kitab sucinya. Orang yang berjuang untuk Allah dan Rasulnya itu terlalu radikal dan narrow-minded katanya. Gue sedih karena ketika Rasulullah ditarik nyawanya oleh malaikat maut, yang beliau pikirkan hanya umatnya. "Yaa ummati... Yaa ummati... Yaa ummati." Begitu cintanya dia dengan kita, tapi kita terlalu malu untuk menjungjung tinggi agama kita. Kita terlalu malu untuk menjadikan Quran dan sunnah sebagai pedoman kita. Quran itu bebas tafsir katanya. Islam itu harus mengikuti zaman, bukan zaman yang mengikuti Islam katanya. Terlalu religius itu kolot katanya. Hidup dan mati Rasulullah hanya untuk tuhannya, untuk umatnya, untuk menegakan agama ini hingga akhirnya kita bisa berislam sebegini nyamannya. Tapi lihat kita sekarang? Tidak setitik debu pun kita melanjutkan perjuangan beliau. Malah kita berusaha menutupi kehidupan islam kita rapat-rapat. Urusan agama hanya untuk disimpan oleh diri-sendiri. Privasi katanya.

Yaa Allah, tolong bukakan selalu pintu maaf kepada kami dan tolong bukakanlah pintu hidayah kepada orang-orang yang merendahkan agamaMu yang mulia ini.

Yaa Allah, tolong lembutkan lah selalu hati kami agar kami selalu bernafas untukMu dan selalu ikhlas berjuang di jalanMu.

Yaa Rasulullah, maaf jika kami belum bisa membela agamamu sebagaimana engkau membela islam dahulu.

Maaf jika setelah kepergianmu kami bukannya bersatu, tapi malah bercerai-berai tidak peduli dengan nasib sesama.

Maaf jika setelah kepergianmu kami malah malu meneriakkan takbir, malu menjunjungmu, malu memuji namamu, dan malu hidup melangkah dengan nafas dan prinsip agamamu.

Yaa Rasulullah, sungguh beruntungnya sahabat-sahabatmu, pengingkut-pengikutmu, dan orang-orang terdahulu yang dapat melihatmu, yang dapat sholat bersamamu, yang dapat mendengarkan khutbahmu.

Walaupun kami tidak pernah bertemu, 

kami rindu dirimu, yaa Rasulullah.

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------




Dear beloved prophet
Today at school, the teacher asked us to draw you
I like to draw, but I never saw you
So I closed my eyes
And I saw a tear in the eye of my mother while reading your story
I saw my father praying all night
I saw my elder sister smiling, even though she just got insulted in the street
I saw my best friend asking me for forgiveness, even though I was to blame
I want to draw all these images
Here, people want to see everything, to watch everything
But I closed my eyes
And I saw you coming towards me
I saw you coming towards us
With the most perfect smile
How could I ever draw a perfect smile?
The teacher did not let me speak when I wanted to explain to her
I can't blame her
She probably never learnt to love someone she doesn't see
But me, I love you without seeing you
I am not good at drawing but I like to write
I like to write to you, yaa Rasulullah
If you could only come back amongst us for a few hours
a few seconds...
a few moments...
She could understand eventually


Share:
Blog Design Created by pipdig